MERESUME JURNAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (2)
Tugas : Penulisan Karya Tulis Ilmiah
Dosen : Dawami, M.I.Kom
Nama Prodi : Tarbiyah
Judul Jurnal : Pendidikan Agama Islam
Penulis Atau Penerbit : Mahmud Arif
A. Pendahuluan
Dimaklumi secara luas, Islam adalah agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia. Dengan demikian, Islam sebenarnya berpeluang besar dalam mempengaruhi tata hidup kemasyarakatan dan kebangsaan di tanah air. Menyadari hal itu, A. Syafi’i Ma’arif menegaskan bahwa sebagai penduduk mayoritas semestinya umat Islam tidak lagi sibuk mempersoalkan hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga konsep ini haruslah ditempatkan dalam satu nafas sehingga Islam yang mau dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberikan solusi terhadap masalah - masalah besar bangsa dan negara. Bergulirnya era Reformasi menyadarkan kalangan elit intelektual akan perlunya bergegas menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang tengah terpuruk akibat terjadinya pelbagai “salah-urus” pada masa Orde Baru. Atas dasar itu, pada tahun 2000 silam, sekitar empat ratus ilmuwan independen, yang diprakarsai oleh Nurcholish Madjid, Emil Salim, dan lain-lain berkumpul di Bali untuk mencari solusi terhadap keterpurukan total negara kita. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut adalah pentingnya pendidikan multikultural. Paling tidak ada dua hal yang patut digarisbawahi terkait dengan rekomendasi itu. Pertama, mereka sepakat bahwa carut-marut kehidupan masyarakat yang majemuk ini dalam berbangsa dan bernegara ikut diperparah oleh munculnya eskalasi konflik, baik secara vertikal maupun horizontal
Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara, jelas patut disayangkan maraknya konflik kekerasan yang bisa mengoyak persatuan dan kesatuan warga serta keutuhan NKRI. Seharusnya disadari betul bahwa karena kearifan para pendahulu pendiri bangsa (the founding fathers) memilih Bhineka Tunggal Ika sebagai prinsip yang mendasari kemajemukan hidup berbangsa dan bernegara, cita cita NKRI dapat diwujudkan dan diwariskan kepada generasi penerus sampai kini setelah sebelumnya dipertahankan dengan pengorbanan besar dari para pejuang ibu pertiwi tercinta. Kenyataan ini sudah saatnya menginspirasi kita, kalangan terdidik, untuk merefleksikan kearifan tersebut dan mengartikulasikannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga kehadiran dan kiprah kita layak dinilai kontributif dalam merajut keharmonian, kerukunan, dan integrasi nasional. Ibarat sebuah pelangi, kemajemukan warga-masyarakat dan warga-negarajustru mampu melahirkan mozaik keserasian dan keterpaduan warna-warni karena disikapi dan dikelola dengan penuh kearifan.
B. Kajian Pustaka
1. Wawasan Islam Global yang Inklusif-Multikultural
2. Membina Religiusitas Melalui Pendidikan Agama
3. Mendialogiskan Pendidikan Agama Islam
C. Metode Penelitian
Wawasan Islam Global yang Inklusif-Multikultural
Salah satu kesadaran yang berakar kuat dalam pandangan seorang Muslim adalah Islam merupakan agama universal, agama untuk sekalian umat manusia, atau agama yang “mendunia” karena risalahnya sebagai rahmat bagi semesta alam. Sejarah menunjukkan, pandangan ini melahirkan sikap sosial-keagamaan yang unik di kalangan umat Islam terhadap agama-agama lain atas dasar toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan dan kejujuran.Itulah manifestasi konkret nilai nilai madani yang terbukti pernah menjadi pilar tegaknya masyarakat kosmopolit, masyarakat madani, Masa Keemasan dunia Islam dan masa awal Islam dahulu. Kendati sikap keagamaan inklusif tadi memiliki basis yang kokoh, namun upaya realisasinya di lapangan ternyata tidak berlangsung mulus. Ideologisasi “kembali ke al-Qur’an dan sunah” yang dianut sebagian gerakan keagamaan kontemporer yang mengabsahkan sejumlah kampanye bernuansa kekerasan, baik berupa pemurtadan, penyerangan maupun terorisme merupakan salah satu tantangan terberat bagi sikap keagamaan inklusif tersebut yang dibutuhkan bagi tegaknya masyarakat kosmopolit. Sebab, kelompok gerakan keagamaan kontemporer ini mengidentifikasi Barat, nonmuslim, dan kalangan muslim yang dianggap tidak segaris dengan pemikirannya sebagai musuh. Di sini, sikap keagamaan inklusif seolah dipaksa harus berhadapan dengan sikap keagamaan eksklusif-radikal yang tidak menyisakan ruang dialog dan kompromi dalam menyelesaikan permasalahan bersama, baik dalam lingkup nasional maupun global.
Pada dataran doktrinal-normatif, jika dilakukan pembacaan secara dialektis hermenutis, maka al-Qur’an sesungguhnya sangat radikal, liberal, dan arif dalam menyikapi keanekaragaman (pluralitas) agama-agama. Diungkapkan dalam al-Qur’an bahwa Kebenaran Universal, Kebenaran Perenial, adalah tunggal walaupun ada kemungkinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Pangkal kebenaran universal itu adalah tawhid yang memiliki konsekuensi kesediaan diri pasrah (islam) kepadaNya. Konsep kesatuan dasar ajaran ini membawa kita menujupengakuan konsep kesatuan misi kenabian/kerasulan, yang pada gilirannya menuju pengakuan konsep kesatuan umat manusia yang beriman.
Membina Religiusitas Melalui Pendidikan Agama
Hubungan harmonis antar umat beragama di Indonesia bukanlah sesuatu yang sudah selesai. Karena itu, secara serius perlu terus dikembangkan dari waktu ke waktu kualitas hubungan yang lebih baik antar umat beragama. Setidaknya terdapat tiga wacana yang mewarnai hubungan Muslim-Non Muslim, khususnya Kristen, dalam kehidupan berbangsa di tanah air, yaitu wacana kaum Muslim tentang ancaman Kristenisasi, wacana kaum Kristen tentang ancaman negara Islam, dan wacana bersama yang dikembangkan melalui dialog antar agama. Pada masa Orde Baru, wacana yang bersifat antagonistik, saling merasa terancam, dinilai masih begitu kuat dibandingkan dengan wacana bersama yang dikembangkan melalui dialog. Bahkan menurut Franz Magnis-Suseno, hubungan Islam dan Kristen di Indonesia pernah menunjukkan hubungan yang paling kritis (mengkhawatirkan). Dengan demikian, cukup beralasan sekiranya dikatakan bahwa upaya mewujudkan pendidikan multikultural menghadapi tiga tantangan utama,yaitu agama, etnisitas, dan tradisi, kepercayaan, dan toleransi. Kuatnya wacana yang bersifat antagonistik tersebut mengisyaratkan perbedaan agama, suku, dan tradisi ternyata masih rentan menimbulkan sikap saling curiga dan saling merasa terancam satu sama lain yang kemudian mendorong ketegangan, tindak kekerasan, penyesatan, dan aksi terror
Mendialogiskan Pendidikan Agama Islam
Mendialogiskan di sini mengandung arti upaya mewujudkan pendidikan agama Islam yang bisa mengapresiasi “upaya-memahami” (understanding) sebagai inti dalam kegiatan pembelajarannya, mengingat subyek yang terlibat bukanlah benda mati. Simpati, empati, toleransi, dan kerjasama adalah contoh sebagian sikap yang hanya dimiliki oleh subyek yang mampu memahami. Adanya kekerasan dalam pendidikan, penghakiman sepihak, dan monopoli kebenaran menunjukkan masih rendahnya upaya-memahami melandasi praktik kegiatan edukasi. Dalam kehidupan bersama, kebenaran acapkali memerlukan saling pemahaman, sehingga komunikasi dan dialog dinilai amat fundamental. Atas dasar itu, sepantasnya jika pedagogik komunikatif dan pedagogik dialogis menjadi bagian dari prinsip pokok pedagogi transformatif, yakni tindakan mendidik yang didasarkan pada teori/konsep, antara lain, proses individuasi dalam kerangka partisipasi, kebudayaan sebagai praksis pendidikan, penekanan lebih pada pembelajaran daripada pengajaran, dan pendidikan sebagai proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Sesuai dengan pedagogik komunikatif dan dialogis, subyek dilihat hanya bisa eksis di dalam kebersamaan dengan subyek yang lain; kegiatan belajar menjadi bermakna ketika ada dialog antar subyek dan ada partisipasi di dalamnya.
Kegiatan edukasi yang mengarah pada domestifikasi, stupidifikasi, dan indoktrinasi bertemalian erat dengan kurikulum (muatan materi) yang bersifat absolut, pedagogi yang berbentuk alih pengetahuan, dan sistem evaluasi yang bersifat reproduksi pengetahuan yang telah dipelajari. Dengan karakteristik seperti itu, pendidikan agama pun pada gilirannya sulit diharapkan untuk sanggup mencerahkan dan memberdayakan peserta didik, atau sulit diharapkan sanggup mengilhaminya melakukan refleksi dan aksiguna mengartikulasikan ajaran agama secara cerdas dan penuh tanggungjawab. Kegiatan edukasi yang salah dalam menginternalisasikan ajaran agama pada peserta didik justru akan menyuburkan gejala pendangkalan agama, semisal fanatisme sempit dan radikalisme keagamaan, yang menegasikan makna dialog untuk menganyam pernak-pernik kemajemukan.
D. Hasil Dan Pembahasan
Islam sebagai agama universal, sebagai agama bagi manusia (umat manusia), atau sebagai agama untuk seluruh dunia karena misi sebagai rahmat untuk semua makhluk. Untuk mewujudkan misi tersebut dalam konteks Indonesia, aktivitas pendidikan bertujuan untuk membangkitkan kebijaksanaan dan kesadaran multikultural global murid, sehingga dalam waktu berikutnya mereka akan dapat memberikan kontribusi dalam pelestarian heterogenitas dan mengembangkannya untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, selain untuk menghadapi globalisasi saat ini. Dalam hal ini, pendidikan Islam memiliki tugas dalam mentransfer inklusif-multikultural ajaran Islam kepada siswa agar mereka mampu menghargai nilai-nilai global Islam, seperti inklusivisme, humanisme, toleransi, dan demokrasi.
E. Kesimpulan
Sesuai tuntutan kearifan lokal, pendidikan agama Islam diharapkan responsif terhadap kemajemukan agama, budaya, dan masyarakat di Indonesia sebagai suatu realitas nyata yang mengharuskan kesungguhankita dalam mengelolanya. Disamping itu, desakan arus globalisasi dengan sisi positif dan negatifnya yang kian tak terelakkan seakan menuntutkita untuk memiliki wawasan global yang tidak tercerabut dari akar keindonesiaan dan keislaman. Tanpa kearifan, kemajemukan tersebut bagaikan “api dalam sekam” yang kapan saja berpotensi memberangus sendi sendi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan tanpa wawasan global yang tepat, arus globalisasi akan menyeret kita ke pusaran malapetaka, seperti perilaku kekerasan atasnama agama atau gaya hidup materialistik. Dengan demikian, kegiatan pendidikan diperlukan untuk menum buhkembangkan kearifan multikultural dan kesadaran global peserta didik, agar nantinya mereka mampu berperan dalam merawat kemajemukan tadi dan mendayagunakannya untuk meraih kemaslahatan hidup bersama, serta mampu menyikapi secara tepat arus globalisasi. Ini berarti pendidikan agama mengemban misi penting mendekatkan peserta didik dengan tuntunan agama dan mentransformasikan nilai-nilai agama yang inklusif-multikultural kepada mereka. Pendidikan agama sudah seharusnya lebih “didialogiskan” agar kegiatan edukasinya mampu menutrisi tumbuhkembang kearifan multikultural dan wawasan global peserta didik
Komentar
Posting Komentar